Kamis, 17 Oktober 2013

Cerita Pendek

SESALKU
karya : Ratri Rahayunita

Udara pagi amat menusuk tulang, rasa kantuk yang kurasa membuat mata ini enggan kubuka. Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidurku. Seperti biasa, hal pertama yang kulakukan adalah membuka jendela. Sinar hangat sang pencerah memasuki kamarku, rasanya saat kumembukanya ada kekuatan magis yang secara ajaib memompa energiku, mungkin karena udara yang kuhirup masih segar hingga rasa kantukku hilang begitu saja.


            Perlahan kuturuni anak tangga satu persatu dan disambut dengan omelan ibu yang sudah tak asing lagi di telingaku.


“Dian sampai kapan kamu mau bangun siang terus?” ujar Ibuku.
“Sampai aku bisa bangun pagi.” Sahutku dengan malas.
“Nah yang jadi masalah kapan kamu akan terbiasa bangun pagi? Kamu sudah SMA Dian, bukan anak TK lagi.” Timpa  Ibuku.

        Aku tak menjawab dan bergegas masuk ke kamar mandi. Ibu tampak kesal dengan kebiasaanku yang tak kunjung ku ubah.

            Setelah selesai berpakaian dan sarapan, aku berangkat ke sekolah diantar oleh ayahku. Menurutku, ayahku adalah pria yang paling baik yang pernah kukenal. Bagaimana tidak, beliau selalu menolongku saat omelan ibu sudah tak tertampung lagi di telingaku, sering membelikan barang-barang yang aku inginkan, dan beliau juga selalu memanjakanku, berbanding terbalik dengan ibuku.

            Bel berbunyi tepat saat mobilku tiba di depan gerbang SMA Tarakanita, tempat aku bersekolah. Ini tahun keduaku belajar di SMA ini tepatnya di semester kedua.

***

Setibanya di kelas …

“Dian, lo ga bosen dateng telat terus?” ucap Resa, sahabatku.
“Bosen sih engga, cuma capek aja lari dari depan gerbang sampe ke kelas.” Jawabku.
“Lagian lo kapan sih berubah, dari kelas satu kesiangan mulu, katanya lo bosen dimarahin ibu lo, kalo gitu lo berubah dong.” Ucap Resa menasihati.
“Resa, itu sih ibu guenya aja yang bawel, tiap pagi ceramah mulu, lagian kan gue yang kesiangan, kenapa ibu gue yang ngomel-ngomel coba.” Jawabku kesal.
“Itu karena ibu lo sayang sama lo, harusnya lo bersyukur dia masih peduli sama lo, itu kan ibu lo Dian!” bentak Resa.

            Belum sempat aku menjawab ucapan Resa, guru bahasa Indonesiaku telah memasuki ruang kelas, sontak suasana kelas menjadi hening.

***

Jam istirahat …

            Hari ini aku tidak berniat untuk pergi ke kantin, mungkin karena aku kurang enak badan. Aku merogoh-rogoh tasku. Astaga!! Aku lupa tidak membawa buku tugas Fisika. Padahal aku telah mati-matian mengerjakan tugas itu, tidak ada waktu lagi untuk mengerjakan di sekolah, apalagi tugasnya cukup banyak. Disaat kebingunan seperti ini, tak ada cara lain selain menelpon ibu dan memintanya untuk membawakan tugasku. Jam segini pasti ibu sedang sibuk di kantornya, ayah apalagi. Tapi tidak ada salahnya aku mencoba menelpon ibu dulu. Bergegas aku menelpon ibu.

“Halo ibu, ibu dimana sekarang?” tanya aku.
“Ibu sedang di kantor, ada apa Dian?” jawab Ibu heran.
“Ibu, tugas aku ketinggalan di kamar, ibu bisa ambilkan tugas aku ga?” tanyaku.
“Tapi 5 menit lagi ibu ada rapat, tidak mungkin ibu meninggalkan kantor sekarang, kamu teledor sekali Dian.” Jawab ibu.
“Tapi 5 menit lagi juga aku masuk kelas bu dan tugas itu harus dikumpulkan. Ibu ga ngertiin aku banget sih, ibu lebih sayang pekerjaan ibu daripada anak ibu?” balasku.
“Bukan begitu Dian, rapat ini dengan rekan kerja ibu yang  menanam saham cukup besar, akan berdampak buruk bagi perusahaan nantinya kalau rapat ini batal hanya karena keteledoran kamu.” Ucap Ibu.
“Terserah ibu, aku gamau tau, pokoknya aku mau dalam 10 menit tugas itu udah ada di tangan aku kalau memang ibu sayang sama aku!” dengan kasar aku menutup telponku.
            Ibuku yang serba salah akhirnya memutuskan untuk membatalkan rapatnya dengan rekan kerja yang menurutnya memiliki peran besar dalam kemajuan perusahaan tempat ibu bekerja, dan lebih memilih untuk mengantarkan tugas anaknya yang tertinggal.
Bisa dibayangkan ramainya kota Jakarta, tentu tak mudah untuk melewati kemacetan yang memang biasa terjadi. Dengan cekatan ibu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jarak kantor ibu dengan rumah cukup jauh, belum lagi jarak dari rumah ke sekolahku.
            Di depan kelas aku menggerutu sendiri. Aku kesal dengan ibu yang lebih mementingkan pekerjaanya dibanding aku. Namun tiba-tiba firasat buruk menghantuiku setelah aku dengan kasar menutup telpon.  Tapi aku harus berfikiran positif, pasti ibu akan baik-baik saja, toh belum tentu ibu mau mengantarkan tugasku.
            Kudengar bunyi mobil terlindas kereta api di pintu lintasan dengan keadaan mobil yang hancur parah dan darah yang bercucuran ditubuh pengemudi, mataku nanar menyaksikan kecelakaan itu, teriakan orang-orang semakin membuatku gugup, aku tak kuasa hingga kuteteskan air mata yang tak mampu lagi kubendung. Kubuka pintu pengemudi mencoba meyakinkan semua pemandangan yang kulihat, sambil mendekat pada sosok wanita separuh baya yang tengah terbujur kaku tak bernyawa. Raut wajahnya sangat kukenal, senyum simpul di wajahnya pun masih sangat kukenal meskipun tertutup oleh simbahan darah. Kepeluk dan kuhentakkan tubuh itu, namun tetap tak bergerak sedikitpun, hingga tubuhku lemas tak berdaya. Dan … sayup-sayup aku mendengar suara keramaian mengelilingiku, sementara kucoba membuka mataku sedikit demi sedikit. Mereka memandangiku dengan pandangan iba. Ada apa ini? Benarkah tadi itu? Atau hanya mimpi buruk?
            Diantara kerumunan itu Resa menyeruak dan menghampiriku.
“Lo kenapa sih tiba-tiba pingsan di depan kelas, tuh liat baju lo sampe kotor begitu!” ujar Resa.
“Masa sih? Ko bisa gue pingsan di depan kelas? Oh iya ibu gue ke sekolah ga?” tanyaku.
“Iya lo tadi itu pingsan tanya aja sama yang lain. Kalau ibu lo gatau deh, tapi dari tadi gue ga liat ada ibu lo.” Jawab Resa.
            Aku sedikit merasa lega karena semuanya ternyata hanyalah mimpi. Dengan langkah sigap aku menarik tangan Resa keluar dari keramaian UKS.
“Eh lo mau kemana? Ganti baju dulu Diaaaan!” perintah Resa.
            Tapi tidak kudengarkan perkataannya, dan mataku terpaku pada mobil polisi yang terparkir di depan gerbang sekolah. Terlihat 3 orang polisi sedang berbicara serius dengan Ibu Kepala Sekolah. Dan tak lama Ibu Kepala Sekolah menunjuk ke arahku dan sontak aku terkejut. Ada apa lagi ini?
“Dian kemari sebentar.” Panggil Ibu Kepala Sekolah.
“Iya bu ada apa?” tanyaku heran.
“Maaf nak kami dari pihak kepolisian ingin bertanya apakah anda putri pemilik kendaraan B 2728 CR ?” tanya salah seorang polisi.
“Betul pak, itu mobil milik ibu saya, ada apa ya memangnya?” tanyaku cemas.
“Berarti anda yang bernama Dian Efrianti?” tanya pak polisi.
“Iyah pak benar sekali, ada apa dengan ibu saya pak?” ucapku.
“Kami dengan berat hati ingin menyampaikan bahwa ibu anda kecelakan di pintu lintasan kereta api, kami tidak menemukan identitas diri baik SIM, STNK maupun KTP, kami hanya menemukan buku anda di genggaman tangan ibu anda dalam keadaan sudah tidak bernyawa.” Jawab pak polisi menjelaskan.
“Apa? Bapak salah kali, dia bukan ibu saya, ibu saya pasti baik-baik saja dikantor, ibu saya masih hidup pak. Saya sayang sama ibu saya, dia ga mungkin ninggalin saya secepat ini!” jawabku dengan tangisan yang sudah tak dapat kutahan.
            Ibu Kepala Sekolah dan Resa berusaha membuatku tenang, Resa merangkulku erat. Aku seperti artis yang sedang bermain peran, berpuluh pasang mata siswa SMA Tarakanita melihatku iba, tak sedikit yang menitikkan air mata melihatku.
            Kekesalan semakin membuncah mengingat semua ini adalah salahku, andai saja aku tak meminta ibu untuk mengantarkan tugasku, mungkin saat ini ibu masih bekerja di kantornya dan tak meninggalkanku secepat ini. Andai saja aku tidak teledor meninggalkan tugasku di kamar, mungkin ibu masih bernafas sampai detik ini. Ini semua memang salahku!! Aku memang anak yang tidak tahu diri! Selalu saja membuat hidup ibuku susah. Aku tak pernah sedikitpun membuatnya bahagia. Anak macam apa aku ini! Dasar Dian bodoh! Aku tak henti-hentinya menyalahkan diriku. Aku masih belum bisa terima semua ini. Aku ingin sekali gantikan ibu, kenapa tak degup jantungku saja yang terhenti, mungkin dengan begitu ibu akan hidup lebih bahagia tanpa aku.

            Air mataku tak cukup untuk menebus semua kesalahanku pada ibu, aku ingin sekali meminta maaf pada ibu, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku ingin merubah semua kebiasaan burukku. Aku akan selalu bangun pagi dan menggantikan ibu menyiapkan sarapan untuk ayah. Aku akan belajar dengan tekun agar aku lulus SMA dengan nilai memuaskan. Aku ingin ibu di surga sana bangga melihat kesuksesanku kelak. 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus :) , terusin karyanya ;)

Posting Komentar