SESALKU
karya : Ratri Rahayunita
Udara
pagi amat menusuk tulang, rasa kantuk yang kurasa membuat mata ini enggan
kubuka. Dengan berat hati aku beranjak dari tempat tidurku. Seperti biasa, hal
pertama yang kulakukan adalah membuka jendela. Sinar hangat sang pencerah
memasuki kamarku, rasanya saat kumembukanya ada kekuatan magis yang secara
ajaib memompa energiku, mungkin karena udara yang kuhirup masih segar hingga
rasa kantukku hilang begitu saja.
Perlahan
kuturuni anak tangga satu persatu dan disambut dengan omelan ibu yang sudah tak
asing lagi di telingaku.
“Dian sampai kapan kamu mau bangun
siang terus?” ujar Ibuku.
“Sampai aku bisa bangun pagi.” Sahutku
dengan malas.
“Nah yang jadi masalah kapan kamu akan
terbiasa bangun pagi? Kamu sudah SMA Dian, bukan anak TK lagi.” Timpa Ibuku.
Aku
tak menjawab dan bergegas masuk ke kamar mandi. Ibu tampak kesal dengan
kebiasaanku yang tak kunjung ku ubah.
Setelah
selesai berpakaian dan sarapan, aku berangkat ke sekolah diantar oleh ayahku.
Menurutku, ayahku adalah pria yang paling baik yang pernah kukenal. Bagaimana tidak,
beliau selalu menolongku saat omelan ibu sudah tak tertampung lagi di telingaku,
sering membelikan barang-barang yang aku inginkan, dan beliau juga selalu
memanjakanku, berbanding terbalik dengan ibuku.
Bel
berbunyi tepat saat mobilku tiba di depan gerbang SMA Tarakanita, tempat aku
bersekolah. Ini tahun keduaku belajar di SMA ini tepatnya di semester kedua.
***
Setibanya di kelas …
“Dian, lo ga bosen dateng telat terus?”
ucap Resa, sahabatku.
“Bosen sih engga, cuma capek aja lari
dari depan gerbang sampe ke kelas.” Jawabku.
“Lagian lo kapan sih berubah, dari
kelas satu kesiangan mulu, katanya lo bosen dimarahin ibu lo, kalo gitu lo
berubah dong.” Ucap Resa menasihati.
“Resa, itu sih ibu guenya aja yang
bawel, tiap pagi ceramah mulu, lagian kan gue yang kesiangan, kenapa ibu gue
yang ngomel-ngomel coba.” Jawabku kesal.
“Itu karena ibu lo sayang sama lo,
harusnya lo bersyukur dia masih peduli sama lo, itu kan ibu lo Dian!” bentak
Resa.
Belum
sempat aku menjawab ucapan Resa, guru bahasa Indonesiaku telah memasuki ruang
kelas, sontak suasana kelas menjadi hening.
***
Jam istirahat …
Hari
ini aku tidak berniat untuk pergi ke kantin, mungkin karena aku kurang enak
badan. Aku merogoh-rogoh tasku. Astaga!! Aku lupa tidak membawa buku tugas Fisika.
Padahal aku telah mati-matian mengerjakan tugas itu, tidak ada waktu lagi untuk
mengerjakan di sekolah, apalagi tugasnya cukup banyak. Disaat kebingunan
seperti ini, tak ada cara lain selain menelpon ibu dan memintanya untuk
membawakan tugasku. Jam segini pasti ibu sedang sibuk di kantornya, ayah
apalagi. Tapi tidak ada salahnya aku mencoba menelpon ibu dulu. Bergegas aku
menelpon ibu.
“Halo ibu, ibu dimana sekarang?” tanya
aku.
“Ibu sedang di kantor, ada apa Dian?”
jawab Ibu heran.
“Ibu, tugas aku ketinggalan di kamar,
ibu bisa ambilkan tugas aku ga?” tanyaku.
“Tapi 5 menit lagi ibu ada rapat,
tidak mungkin ibu meninggalkan kantor sekarang, kamu teledor sekali Dian.”
Jawab ibu.
“Tapi 5 menit lagi juga aku masuk
kelas bu dan tugas itu harus dikumpulkan. Ibu ga ngertiin aku banget sih, ibu
lebih sayang pekerjaan ibu daripada anak ibu?” balasku.
“Bukan begitu Dian, rapat ini dengan
rekan kerja ibu yang menanam saham cukup
besar, akan berdampak buruk bagi perusahaan nantinya kalau rapat ini batal
hanya karena keteledoran kamu.” Ucap Ibu.
“Terserah ibu, aku gamau tau, pokoknya
aku mau dalam 10 menit tugas itu udah ada di tangan aku kalau memang ibu sayang
sama aku!” dengan kasar aku menutup telponku.
Ibuku
yang serba salah akhirnya memutuskan untuk membatalkan rapatnya dengan rekan
kerja yang menurutnya memiliki peran besar dalam kemajuan perusahaan tempat ibu
bekerja, dan lebih memilih untuk mengantarkan tugas anaknya yang tertinggal.
Bisa
dibayangkan ramainya kota Jakarta, tentu tak mudah untuk melewati kemacetan
yang memang biasa terjadi. Dengan cekatan ibu melajukan mobilnya dengan
kecepatan yang cukup tinggi. Jarak kantor ibu dengan rumah cukup jauh, belum
lagi jarak dari rumah ke sekolahku.
Di
depan kelas aku menggerutu sendiri. Aku kesal dengan ibu yang lebih mementingkan
pekerjaanya dibanding aku. Namun tiba-tiba firasat buruk menghantuiku setelah aku
dengan kasar menutup telpon. Tapi aku
harus berfikiran positif, pasti ibu akan baik-baik saja, toh belum tentu ibu mau
mengantarkan tugasku.
Kudengar
bunyi mobil terlindas kereta api di pintu lintasan dengan keadaan mobil yang
hancur parah dan darah yang bercucuran ditubuh pengemudi, mataku nanar
menyaksikan kecelakaan itu, teriakan orang-orang semakin membuatku gugup, aku
tak kuasa hingga kuteteskan air mata yang tak mampu lagi kubendung. Kubuka
pintu pengemudi mencoba meyakinkan semua pemandangan yang kulihat, sambil
mendekat pada sosok wanita separuh baya yang tengah terbujur kaku tak bernyawa.
Raut wajahnya sangat kukenal, senyum simpul di wajahnya pun masih sangat
kukenal meskipun tertutup oleh simbahan darah. Kepeluk dan kuhentakkan tubuh
itu, namun tetap tak bergerak sedikitpun, hingga tubuhku lemas tak berdaya. Dan
… sayup-sayup aku mendengar suara keramaian mengelilingiku, sementara kucoba
membuka mataku sedikit demi sedikit. Mereka memandangiku dengan pandangan iba.
Ada apa ini? Benarkah tadi itu? Atau hanya mimpi buruk?
Diantara
kerumunan itu Resa menyeruak dan menghampiriku.
“Lo kenapa sih tiba-tiba pingsan di
depan kelas, tuh liat baju lo sampe kotor begitu!” ujar Resa.
“Masa sih? Ko bisa gue pingsan di depan
kelas? Oh iya ibu gue ke sekolah ga?” tanyaku.
“Iya lo tadi itu pingsan tanya aja
sama yang lain. Kalau ibu lo gatau deh, tapi dari tadi gue ga liat ada ibu lo.”
Jawab Resa.
Aku
sedikit merasa lega karena semuanya ternyata hanyalah mimpi. Dengan langkah
sigap aku menarik tangan Resa keluar dari keramaian UKS.
“Eh lo mau kemana? Ganti baju dulu Diaaaan!”
perintah Resa.
Tapi
tidak kudengarkan perkataannya, dan mataku terpaku pada mobil polisi yang terparkir
di depan gerbang sekolah. Terlihat 3 orang polisi sedang berbicara serius
dengan Ibu Kepala Sekolah. Dan tak lama Ibu Kepala Sekolah menunjuk ke arahku
dan sontak aku terkejut. Ada apa lagi ini?
“Dian kemari sebentar.” Panggil Ibu
Kepala Sekolah.
“Iya bu ada apa?” tanyaku heran.
“Maaf nak kami dari pihak kepolisian ingin
bertanya apakah anda putri pemilik kendaraan B 2728 CR ?” tanya salah seorang
polisi.
“Betul pak, itu mobil milik ibu saya,
ada apa ya memangnya?” tanyaku cemas.
“Berarti anda yang bernama Dian
Efrianti?” tanya pak polisi.
“Iyah pak benar sekali, ada apa dengan
ibu saya pak?” ucapku.
“Kami dengan berat hati ingin
menyampaikan bahwa ibu anda kecelakan di pintu lintasan kereta api, kami tidak
menemukan identitas diri baik SIM, STNK maupun KTP, kami hanya menemukan buku
anda di genggaman tangan ibu anda dalam keadaan sudah tidak bernyawa.” Jawab
pak polisi menjelaskan.
“Apa? Bapak salah kali, dia bukan ibu
saya, ibu saya pasti baik-baik saja dikantor, ibu saya masih hidup pak. Saya
sayang sama ibu saya, dia ga mungkin ninggalin saya secepat ini!” jawabku
dengan tangisan yang sudah tak dapat kutahan.
Ibu
Kepala Sekolah dan Resa berusaha membuatku tenang, Resa merangkulku erat. Aku
seperti artis yang sedang bermain peran, berpuluh pasang mata siswa SMA
Tarakanita melihatku iba, tak sedikit yang menitikkan air mata melihatku.
Kekesalan
semakin membuncah mengingat semua ini adalah salahku, andai saja aku tak
meminta ibu untuk mengantarkan tugasku, mungkin saat ini ibu masih bekerja di
kantornya dan tak meninggalkanku secepat ini. Andai saja aku tidak teledor
meninggalkan tugasku di kamar, mungkin ibu masih bernafas sampai detik ini. Ini
semua memang salahku!! Aku memang anak yang tidak tahu diri! Selalu saja
membuat hidup ibuku susah. Aku tak pernah sedikitpun membuatnya bahagia. Anak
macam apa aku ini! Dasar Dian bodoh! Aku tak henti-hentinya menyalahkan diriku.
Aku masih belum bisa terima semua ini. Aku ingin sekali gantikan ibu, kenapa tak
degup jantungku saja yang terhenti, mungkin dengan begitu ibu akan hidup lebih
bahagia tanpa aku.
Air
mataku tak cukup untuk menebus semua kesalahanku pada ibu, aku ingin sekali meminta
maaf pada ibu, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku berjanji pada diriku
sendiri, bahwa aku ingin merubah semua kebiasaan burukku. Aku akan selalu
bangun pagi dan menggantikan ibu menyiapkan sarapan untuk ayah. Aku akan
belajar dengan tekun agar aku lulus SMA dengan nilai memuaskan. Aku ingin ibu di
surga sana bangga melihat kesuksesanku kelak.
1 komentar:
bagus :) , terusin karyanya ;)
Posting Komentar